Sabtu, 21 September 2013

LUAR BIASA Etika perang Muslim di film Kingdom of Heaven



KINGDOM OF HEAVEN adalah film buatan Hollywood yg disutradarai oleh Ridley Scott, dan di bintangi antara lain oleh Orlando Bloom dan Liam Neeson. Tidak ada orang Islam yg terlibat dlm film ini kecuali mungkin bintang figuran dan kru lapangan. Juga tidak ada modal yg disuntikkan orang Islam.

Namun film ini bercerita tentang Perang Salib dalam sudut pandang yg sangat berbeda dari kebanyakan film hollywood. Di sini tentara muslim yg dipimpin Salahudin Al Ayubi digambarkan sebagai pihak yg memegang penuh etika perang, toleransi beragama dan hak azasi manusia. di lain pihak, tentara Salib justru digambarkan sebagai tentara yg haus darah, doyan perang, dan tidak mengenal belas kasihan meskipun kepada wanita dan anak2.



Orang2 yg benci atau apriori dgn Islam boleh saja bilang bahwa itu hanyalah film. Namun seandainya mereka mau membaca kembali catatan sejarah secara obyektif dan dgn hati yg jernih tentulah mereka akan menemukan pesan2 yg sama seperti di film KINGDOM OF HEAVEN.                                                                                                                                                                                                                                            

Ketika Tentara Salib merebut Jerusalem pada Perang Salib I tahun 1099, mereka membantai habis penduduk Jerusalem, tidak hanya muslim tetapi juga penduduk yahudi serta penganut nasrani ortodox, termasuk kaum Arian, dan sekte2 lain yg dicap sesat oleh Paus. Tak terhitung masjid, sinagog, gereja ortodox dan perpustakaan habis dijarah, dirusak bahkan dibakar. Sebelumnya, di sepanjang jalan menuju Jerusalem Tentara Salib juga melakukan pembunuhan, perampokan, pemerkosaan dan penganiayaan serupa. Selama Perang Salib I, ratusan ribu wanita, anak dan orang tua menjadi korban. Ribuan rumah penduduk, masjid, sinagog, gereja ortodox, dan perpustakaan dirusak dan dibakar.

Namun ketika Salahuddin merebut kembali Jerusalem pada tahun 1187, boleh dikatakan tidak ada pembunuhan terhadap warga nasrani yg tertinggal di kota itu, tidak ada pengrusakan dan perampokan thdp gereja, dan para pemuka agama nasrani sedikitpun tidak disentuh (www.bbc.co.uk/religion/ethics/war/islam.shtml).                                                                                                                                                                                                                            


Mengapa Salahuddin bertindak seperti itu? Jawabannya adalah, karena beliau memegang teguh etika perang Islam sebagaimana diajarkan oleh AL Quran dan Rasulullah Muhammad SAW, yang di antaranya adalah:

1. Muslim hanya boleh berperang ketika diserang atau bila ada warga muslim di wilayah non muslim yg ditindas atau dibantai (Al Baqarah:190)
2. Dalam berperang muslim tidak boleh melampaui batas (Al Baqarah 190), di antaranya tidak boleh membunuh musuh yg sudah tidak berdaya, merusak mayat, mengganggu apalagi merampok dan membunuh penduduk sipil, merusak atau merampok tempat ibadah atau fasilitas umum, membakar rumah penduduk kecuali yg dianggap bisa menjadi tempat persembunyian musuh, membunuh ternak kecuali yg untuk dimakan, serta merusak tanaman kecuali utk diambil buahnya (Al Hadist).
3. Bila telah terjadi kesepakatan untuk menghentikan peperangan dan musuh telah mengembalikan wilayah muslim yg dikuasainya dan membebaskan tentara atau penduduk muslim yg ditawannya, maka muslim diperintahkan utk berhenti berperang (al Baqarah 193).

Bagaimana dengan para teroris beragama Islam yg melakukan pemboman sehingga menewaskan penduduk sipil? Tentulah perbuatan mereka itu tidak sesuai dengan ketentuan Allah sebagaimana dijelaskan di atas. Karena tidak sesuai dgn ketentuan Allah maka tidak heran perbuatan mereka tidak mendatangkan kemenangan atas apa yg mereka perjuangkan. Namun di lain pihak, negara dan pemerintah muslim yg berdiam diri saja melihat saudara2 muslimnya ditindas dan dibantai di negara lain juga sama salahnya dgn para teroris tsb. Karena tidak mengikuti perintah Allah itulah pada saat sekarang negara2 muslim kurang dihormati oleh negara2 non muslim. 

Kamis, 19 September 2013

Kisah Tentang Kilab bin Umaiyah dan Baktinya Kepada Orang Tua

Seorang laki-laki bernama Kilab bin Umayyah bin Askar. Dia memiliki ayah dan ibu yang sudah tua. Dia menyiapkan susu untuk keduanya tiap pagi dan petang hari. Kemudian datanglah dua orang menemui Kilab, mereka membujuknya untuk pergi berperang. Ternyata Kilab tertarik dengan ajakan tersebut, lalu dia membeli seorang hamba sahaya untuk menggantikannya mengasuh kedua orang tuanya. Setelah itu Kilab pun pergi berjihad.
Suatu malam, hamba sahaya tersebut datang dan membawa gelas jatah susu petang hari kepada ibu dan bapak Kilab, ketika keduanya sedang tidur. Dia menunggu sesaat dan tidak membangunkannya lalu pergi. Di tengah malam keduanya terbangun dalam keadaan lapar, bapak Kilab berkata,

“Dua orang telah memohon kepada Kilab dengan kitabullah. Keduanya telah bersalah dan merugi. Kamu meninggalkan bapakmu yang kedua tangannya gemetar, dan ibumu tidak bisa minum dengan nikmat. Jika merpati itu bersuara di lembah Waj karena telur-telurnya, kedunya mengingat Kilab. Dia didatangi oleh dua orang yang membujuknya. Wahai hamba-hamba Allah, sungguh keduanya telah durhaka dan merugi. Aku memanggilnya lalu dia berpaling dengan menolak. Maka dia tidak berbuat yang benar. Sesungguhnya ketika kamu mencari pahala selain dari berbakti kepadaku, hal itu seperti pencari air yang memburu fatamorgana. Apakah ada kebaikan setelah menyia-nyiakan kedua orang tua? Demi bapak Kilab, perbuatannya tidak dibenarkan.”

Jika ada orang luar Madinah yang datang ke kota Madinah, Umar bin Khatab radhiallahu ‘anhu selalu menanyakan tentang berita-berita dan keadaan mereka. Umar bertanya kepada salah seorang yang datang, “Dari mana?” Orang itu menjawab, “Dari Thaif.” Umar bertanya, “Ada berita apa?” Orang itu menjawab, “Aku melihat seorang laki-laki berkata (laki-laki ini menyebut ucapan bapak Kilab di atas).” Umar menangis dan berkata, “Sungguh Kilab mengambil langkah yang keliru.”

Kemudian bapak Kilab, Umaiyah bin Askar dengan penuntunnya menemui Umar yang sedang di masjid. Dia mengatakan, “Aku dicela. Kamu telah mencelaku tiada batas, dan kamu tidak tahu penderitaan yang kurasakan. Jika kamu mencelaku, maka kembalikanlah Kilab manakala dia berangkat ke Irak. Pemuda mulia dalam kesulitan dan kemudahan, kokoh dan tangguh pada hari pertempuran. Tidak, demi bapakmu, cintaku kepadamu tidaklah usang. Begitu pula 
harapanku dan kerinduanku kepadamu. Seandainya kerinduan yang mendalam membelah hati, niscaya hatiku telah terbelah karena kerinduan kepadanya. Aku akan mengadukan al-Faruq (maksudnya Umar bin Khattab) kepada Tuhannya yang telah menggiring jamaah haji ke tanah berbatu hitam. Aku berdoa kepada Allah dengan berharap pahala dari-Nya di lembah Akhsyabain sampai air hujan mengalirinya. Sesungguhnya al-Faruq tidak memanggil Kilab untuk pulang kepada dua orang tua yang sedang kebingungan.”

Umar menangis, lalu beliau menulis surat kepada Abu Musa al-Asy’ari agar memulangkan Kilab ke Madinah. Abu Musa berkata kepada Kilab, “Temuilah Amirul Mukminin Umarbin Khattab.” Kilab menjawab, “Aku tidak melakukan kesalahan, tidak pula melindungi orang yang bersalah.” Abu Musa berkata, “Pergilah!”

Kilab pulang ke Madinah. Ketika Umar bertemu dengannya, beliau mengatakan, “Sejauh mana kamu berbuat baik kepada orang tuamu?” Kilab menjawab, “Aku mementingkannya dengan mencukupi kebutuhannya. Jika aku hendak memerah susu untuknya, maka aku memilih onta betina yang paling gemuk, paling sehat dan paling banyak susunya. Aku mencuci puting susu onta itu, dan barulah aku memerah susunya lalu menghidangkannya kepada mereka.”

Umar mengutus orang untuk menjemput bapaknya. Bapak Kilab datang dengan tertatih-tatih dan menunduk. Umar bertanya kepadanya, “Apa kabarmu, wahai Abu Kilab?” Dia menjawab, “Seperti yang Anda lihat wahai Amirul Mukminin.” Umar bertanya, “Apakah kamu ada kepeluan?” Dia menjawab, “Aku ingin melihat Kilab. Aku ingin mencium dan memeluknya sebelum aku mati.” Umar menangis dan berkata, “Keinginanmu akan tercapai insya Allah.”

Kemudian Umar memerintahkan Kilab agar memerah susu onta untuk bapaknya seperti yang biasa dia lakukan. Umar menyodorkan gelas susu itu kepada bapak Kilab sambil berkata, “Minumlah ini, wahai bapak Kilab.” Ketika bapak Kilab mendekatkan gelas ke mulutnya, dia berkata, “Demi Allah, aku mencium bau kedua tangan Kilab.” Umar mengatakan, “Ini Kilab, dia ada di sini. Kami yang menyuruhnya pulang.” Bapak Kilab menangis dan Umar bersama orang-orang yang hadir juga menangis. Mereka berkata, “Wahai Kilab, temani kedua orang tuamu.” Maka Kilab tidak pernah lagi meninggalkan mereka sampai wafat.

Ditulis oleh Nurfitri Hadi, S.S.,M.A.
Artikel KisahMuslim.com