Kamis, 27 Juni 2013

Bagaimana mendapatkan jawaban dari sholat istikharah


Adalah tabiat manusia manakala dihadapkan pada dua pilihan atau lebih yang sangat sulit atau di luar kemampuan analisanya untuk memilih, maka ia cenderung meminta pertolongan dari kekuatan supra natural atau mencari tanda-tanda dari alam dalam menentukan pilihannya.
Ketika datang Islam, kebiasaan itu diluruskan dengan diajarkannya shalat Istikharah. Istikharah artinya meminta pilihan. Sholat istikharah adalah shalat untuk meminta pilihan kepada Allah.
 
Manusia adalah makluq yang dengan kesempurnaannya tetap memiliki kekurangan, terutama dalam menentukan pilihan yang di luar kemampuan analisanya. Ia tidak mampu melihat kegaiban masa depan apakah itu baik atau buruk nantinya. Inilah hikmah dari disunnahkannya Istikharah, agar manusia tetap menjalin hubungan dengan Tuhannya saat akan menentukan pilihan, meminta pertolonganNya agar ia bisa memilih dengan baik dan tepat. Allah berfirman:”Dan Tuhanmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya. Sekali-sekali tidak ada pilihan bagi mereka (apabila Allah telah menentukan). Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan. Dan Tuhamnu mengetahui apa yang disembunyikan dalam dada mereka dan apa yang mereka nyatakan. Dan Dialah Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, bagiNyalah segala puji di dunia dan di akhirat, dan bagiNyalah segala penentuan dan hanya kepadaNyalah kami dikembalikan (al-Qasas 68-70).
Hukum Istikharah
Para ulama sepakat mengatakan bahwa shalat istikharah hukumnya sunnah pada saat seorang muslim dihadapkan pada permasalahan yang memerlukan keputusan untuk memilih.
Dalil Shalat Istikharah
Dalil shalat Istikharah adalah sbb:
1. عن جابر بن عبد الله رضي الله عنهما قال: ( كان رسول الله ( يعلمنا الاستخارة في الأمور كلها كما يعلمنا السورة من القرآن، يقول: (إِذَا هَمَّ أَحَدُكُمْ بِالْأَمْرِ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ مِنْ غَيْرِ الْفَرِيضَةِ ثُمَّ لِيَقُلْ اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْتَخِيرُكَ بِعِلْمِكَ وَأَسْتَقْدِرُكَ بِقُدْرَتِكَ وَأَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ فَإِنَّكَ تَقْدِرُ وَلَا أَقْدِرُ وَتَعْلَمُ وَلَا أَعْلَمُ وَأَنْتَ عَلَّامُ الْغُيُوبِ اللَّهُمَّ فَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ هَذَا الْأَمْرَ ثُمَّ تُسَمِّيهِ بِعَيْنِهِ خَيْرًا لِي فِي عَاجِلِ أَمْرِي وَآجِلِهِ قَالَ أَوْ فِي دِينِي وَمَعَاشِي وَعَاقِبَةِ أَمْرِي فَاقْدُرْهُ لِي وَيَسِّرْهُ لِي ثُمَّ بَارِكْ لِي فِيهِ اللَّهُمَّ وَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّهُ شَرٌّ لِي فِي دِينِي وَمَعَاشِي وَعَاقِبَةِ أَمْرِي أَوْ قَالَ فِي عَاجِلِ أَمْرِي وَآجِلِهِ فَاصْرِفْنِي عَنْهُ وَاقْدُرْ لِي الْخَيْرَ حَيْثُ كَانَ ثُمَّ رَضِّنِي بِهِ)
Artinya: Dari Jabir bin Abdullah r.a. berkata: Rasulullah saw mengajarkan kepada kami istiharah pada semua perkara sebagaimana beliau mengajarkan al-Quran. Beliau bersabda:”Apabila salah satu dari kalian dihadapkan pada permasalahan maka hendaknya ia shalat dua rakaat selain shalat fardlu, kemudian hendaknya ia berdoa (artinya) Ya Allah sesungguhnya aku meminta pilihanMu dengan ilmuMu, dan meminta keputusan dengan ketentuanMu, Aku meminta kemurahanMu, sesungguhnya Engkaulah yang menentukan dan aku tidak ada daya untuk menentukan, Engkaulah yang mengetahui dan aku tidaklah tahu apa-apa, Engkaulah yang Maha Mengetahui perkara gaib. Ya Allah sekiranya Engkau mengetahui bahwa perkara ini (lalu menyebutkan masalahnya) adalah baik bagiku saat ini dan di waktu yang akan datang, atau baik bagi agamaku dan kehidupanku serta masa depanku maka tentukanlah itu untukku dan mudahkanlah ia bagiku lalu berkatilah. Ya Allah apabila Engkau mengetahui bahwa perkara itu buruk bagiku untuk agamaku dan kehidupanku dan masa depan perkaraku, atau bagi urusanku saat ini dan di masa mendatang, maka jauhkanlah ia dariku dan tentukanlah bagiku perkara yang lebih baik darinya, apapun yang terjadi, lalu ridlailah ia untukku”. (h.r. Ahmad, Bukhari dan Ashabussunan).
2. Dalil lain shalat Istikharah adalah hadist riwayat Muslim yang menceritakan pada saat Zainab ra akan dipersunting leh Rasulullah saw, beliau menjawab “Aku belum bisa memberi jawaban hingga aku melakukan istikharah kepada Tuhanku. Lalu beliau memasuki tempat shalatnya dan turunlah al-Qur’an.
Tatacara Shalat Istikharah
Para ulama menjelaskan bahwa tatacara shalat istikharah adalah seperti sholat sunnah biasa, dijalankan dalam dua rakaat. Tidak ada waktu khusus untuk melaksanakannya, namun shalat istikharah disunnah serta merta saat seseorang menghadapi masalah. Imam Nawawi, Ibnu Hajar dan Imam Iraqi mengatakan, sah melaksanakan istikharah yang dibarengkan dengan sholat sunnah lainnya asalkan dengan niat. Misalkan seseorang hendak melaksanakan sholat sunnah rawatib lalu ia juga niat untuk istikharah maka itu sah. (Fathul Bari 11/221).
Selesai melaksakan shalat lalu membaca doa di atas. Tidak ada bacaan khusus atau surat khusus dalam shalat Istikharah. Beberapa refrensi menyebutkan aada raka'at pertama, setelah membaca al-Fatihah disunatkan membaca surat al-Kaafiruun, dan pada raka'at kedua (setelah al-Fatihah) membaca surat al-Ikhlas. Itu mengikuti shalat hajat karena Istikharah termasuk shalat hajat. Begitu juga diperbolehkan mengulang-ulang shalat Istikharah karena itu termasuk doa dan dalam beberapa riwayat Rasulullah saw mengulang doa terkadang sampai tiga kali.
Bagi yang berhalangan melaksanakan shalat, misalnya perempuan yang sedang datang bulan, maka diperbolehkan baginya untuk hanya membaca doa Istikharah.
Dalam Istikharah siapakah yang memilih?
Allah memberi kita karunia akal dan nalar yang bebas. Dengan akal dan nalar kita bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk dan dengan akal dan nalar tersebut kita mempunyai kemampuan untuk menganalisa dan menentukan pilihan dalam perkara dunia.
Selain itu banyak petunjuk agama yang mengajarkan kepada manusia bagaimana menentukan perkara apakah itu baik atau buruk. Rasulullah saw bersabda “الْبِرُّ مَا اطْمَأَنَّ إِلَيْهِ الْقَلْبُ وَاطْمَأَنَّتْ إِلَيْهِ النَّفْسُ وَالْإِثْمُ مَا حَاكَ فِي الْقَلْبِ وَتَرَدَّدَ فِي الصَّدْرِ” artinya: kebaikan adalah apa yang membuat hati tenang dan mejadikan nafsu tenang, keburukan adalah apa yang membuat hati gelisah dan menimbulkan keraguan” (h.r. Ahmad dll.)
Dalam masalah jodoh, Rasulullah saw bersabda “تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَلِجَمَالِهَا وَلِدِينِهَا فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ” artinya: seorang perempuan dinikahi karena empat perkara, yaitu karena hartanya, kedudukannya, kecantikannya, dan agamanya. Carilah yang mempunyai agama niscaya kamu beruntung” (h.r. Muslim dll).
Kedua hadist tersebut menunjukkan bahwa memilih adalah pekerjaan manusia. Agama memberikan petunjuk rambu-rambu untuk memilih dengan baik.
Rasulullah saw juga mencontohkan dalam sebuah hadist “مَا خُيِّرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ أَمْرَيْنِ أَحَدُهُمَا أَيْسَرُ مِنْ الْآخَرِ إِلَّا اخْتَارَ أَيْسَرَهُمَا مَا لَمْ يَكُنْ إِثْمًا فَإِنْ كَانَ إِثْمًا كَانَ أَبْعَدَ النَّاسِ مِنْهُ” artinya: Rasulullah saw ketika dihadapkan dua pilihan, beliau selalu memilih yang termudah selama itu tidak mengandung dosa, apabila itu mengandung dosa maka beliau menjauhinya” (h.r. Muslim dll). Beliau pun ketika memilih sesuatu menggunakan analisa dan nalar beliau, namun selalu mengutamakan yang mudah.
Begitu juga ketika seorang hamba dihadapkan kepada dua pilihan yang sulit dan kemudian dia melaksanakan shalat istikharah sesuai ajaran Rasulullah, tidak berarti ia lantas menyuruh Allah memilihkan pilihannya dan ia hanya cukup berdoa saja dan menunggu petunjuk dan berpangku tangan. Itu adalah anggapan yang kurang tepat.
Ilustrasinya sbb: ketika kita seorang mahasiswa atau murid memasuki ruang ujian biasanya kita selalu berdoa agar bisa mengerjakan dengan baik dan memilih jawaban dengan tepat. Apakah mengerjakan ujian dan memilih jawaban tersebut cukup dengan doa tadi? Tentu tidak. Jawaban ujian dan memilih jawaban ujian hanya bisa dilakukan melalui belajar sebelumnya, sedangkan fungsi dia adalah agar ketika mengerjakan ujian dan memilih jawaban tersebut kita diberi kekuatan dan kemampuan sehingga bisa mengerjakan dengan tepat. Begitu juga sholat istikharah adalah doa agar dalam kita memilih, kita diberikan kekuatan oleh Allah dan tidak salah pilih, namun pekerjaan memilih itu sendiri harus kita lakukan dengan baik melalui analisa, kajian, penyelidikan, musyawarah dll. Setelah proses tersebut kita matangkan, maka dengan disertai doa yaitu shalat istikharah mudah-mudahan pilihan kita tidak salah.
Yang lebih salah lagi, manakala pilihan itu ternyata kurang sesuai dengan yang diharapkan, ia mulai menyalahkan istikharahnya atau naudzubillah kalau sampai menyalahkan Tuhannya.
Pada masalah apa kita disunnahkan shalat istikharah?
Sebenarnya shalat istikharah disunnahkan ketika kita menghadapi pilihan perkara yang halal, seperti pekerjaan, pernikahan, perdagangan dll. Itu yang seharusnya dilaksanakan oleh seorang hamba. Rasulullah saw bersabda “من سعادة ابن آدم استخارته إلى الله ، ومن شقاوة ابن آدم تركه استخارة الله” artinya: termasuk kemuliaan bani Adam adalah ia mau beristikharah kepada Allah, dan termasuk kedurhakaannya adalah manakala ia tidak mau beristikharah kepada Allah” (h.r. Hakim).
Dalam hadist shalat istikharah di atas juga disebutkan “Rasulullah saw mengajarkan istikharah kepada kami dalam semua perkara”. Ini menunjukkan pentingnya istikharah dalam semua perkara yang kita hadapi. Maka sebaiknya kita sering melaksanakan shalat ini manakala menghadapi semua masalah dunia. Dan kurang tepat kiranya kalau kita melaksanakan shalat istkhoroh hanya ketika hendak menikah.
Ibnu Hajar menuqil ungkapan Abu Jumrah mengatakan bahwa shalat Istikharah tidak dilakukan untuk perkara wajib dan sunnah. Begitu juga istikharah tidak dilakukan untuk memilih perkara makruh dan haram. Kecuali apalagi terjadi dilema anatara dua perkara wajib atau sunnah, misalnya seseorang yang mampu melaksanakan ibadah Haji, ia beristikharah apakah berangkat tahun ini atau tahun depan.
Jawaban istikharah
Tidak ada dalil yang menunjukkan tanda-tanda jawaban dari shalat istikharah. Ini memperkuat uraian di atas bahwa yang memilih adalah kita, bukan Allah memilihkan kita, tetapi kita berdoa agar Allah memberikan kekuatan kita dalam memilih.
Ulama besar Syafii, Iz bin Abdussalam mengatakan setelah istikharah seorang hamba hendaknya mengambil keputusan yang diyakininya dengan pasti. Ulama lain Kamaluddin Zamlakani mengatakan selesai shalat istikharah hendaknya seseorang mengambil keputusan yang sesuai keyakinannya, baik itu sesuai dengan bisikan hatinya atau tidak, karena kebaikan adalah pada apa yang ia yakini, bukan dari apa yang cocok di hatinya. Bisikan hati kadang dipengaruhi oleh perasaan subyektif dan tidak ada dalil yang menyatakan seperti itu. Imam Qurtubi juga mengatakan hal yang sama dan menambahkan hendaknya hatinya dibersihkan dari hal-hal yang mempengaruhinya. Ibnu Hajar juga mengatakan bahwa sebaiknya tidak mengikuti kecenderungan hati karena biasanya itu dipengaruhi oleh hal lain sebelum melaksanakan shalat istkharah.
Itu benar, misalnya seseorang yang sudah dirundung rasa cinta mendalam terhadap seseorang, mana mungkin ketika dia istikharah akan mendapatkan jawaban untuk tidak memilihnya.
Setelah memilih dengan analisa dan pertimbangannya yang matang, hendaknya juga diikuti sikap tawakkal, bahwa itu mudah-mudahan pilihan yang tepat dan mudah-mudahan Allah akan memudahkan semuanya.
Banyak orang menanti jawaban istikharah melalui mimpi, atau melalui membuka Quran secara acak lalu mencoba mencari jawabannya melalui ayat yang tak sengaja terbuka, atau dengan butiran-butiran tasbih dan lain-lain. Itu semua tidak mempunyai landasan dalil dan hadist.
Disusun oleh Ustadz Muhammad Niam
Dari berbagai sumber literatur fiqh dan hadist

Rabu, 26 Juni 2013

Belajar Dari Cara Elang Menghadapi Badai


Hewan yang paling sering dijadikan pelajaran dalam menghadapi ujian kehidupan adalah elang. Hewan ini punya sikap yang sangat elegan dalam melawan badai.

Elang punya kemampuan mengetahui kapan saatnya datang badai. Dan ketika ia tahu bahwa badai sebentar lagi datang, apakah ia menjauh? Tidak. Justru ia hadapi dengan cerdik.

Beberapa saat menjelang badai datang, elang akan terbang ke titik yang tinggi. Menunggu angin di sana. Hingga badai benar-benar datang, elang merentangkan sayapnya lebar-lebar. Saat itulah angin akan menerbangkannya lebih tinggi lagi. Lebih tinggi dari badai yang mengamuk di bawah. Dan dia terhindar dari badai dengan “mengangkanginya”.

Kecerdikan itulah yang menjadi pelajaran bagi manusia dalam menghadapi ujian. Sebuah ayat kauniyah yang Allah permudah untuk dipelajari bagi pembangun peradaban bumi.

Seorang muslim tentu tahu bahwa ujian Allah akan menghampirinya. Itu adalah konsekuensi beriman kepada Allah swt. “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi?” (Al-Ankabuut : 2)

Lantas, apakah muslim akan menjauh dari ujian itu? Berarti, ia harus menjauh dari keimanan. Tapi tentu tidak, dengan istiqomahnya seorang muslim akan melakukan persiapan dalam menghadapi badai kehidupan.

Bila elang 
akan terbang ke titik yang tinggi sembari menunggu badai, maka seorang muslim akan mempertinggi kondisi ruhaninya dengan amalan-amalan wajib dan nafilah. Dengan kedekatan pada Tuhan-lah ia songsong badai.

Dan ketika badai itu datang, ia paham bahwa sebuah ujian hanyalah media untuk meningkatkan derajat dirinya di hadapan Allah swt. Oleh karena itu, bila elang melebarkan sayapnya dan membiarkan angin melambungkan badannya tinggi ke atas, seorang muslim akan membuka dirinya dan membiarkan ujian yang dihadapi melambungkan derajatnya.

Wahai muslim, kita harus berdiri di atas badai ujian hidup kita. Tidak boleh kita biarkan terjebak dalam pusaran angin kencang dan terguncang-guncang tanpa daya.

Bila ujian hidup itu adalah sebuah arus liar, jangan biarkan akal sehat kita hanyut diombang-ambing oleh gelombang besar. Biarkan ujian itu mengalir bersama takdir, sementara akal sehat kita ada di atasnya menganalisa apa yang terjadi. Kelak arus liar itu pun akan berlalu dengan sendirinya.

Bila akal sehat kita tidak hanyut, dari atas gelombang akal sehat kita bisa saja membelokkan arus. Dengan berada lebih tinggi, kita menemukan pemandangan yang lebih luas untuk menentukan kemana arus berbelok dengan mengubah jalur sungai.

Yang terpenting, dengan berada di atas arus liar ujian kehidupan, akal sehat kita bisa menganalisa dan memahami tipikal air bah yang suatu saat akan kembali datang. Kita bisa mengambil pelajaran darinya, dan melakukan koreksi atas perilaku kita.

Tulang Manusia, Menjadi Batu atau Besi, Allah Pasti Akan Bangkitkan


Keajaiban ini dipublikasi oleh orang yang merasa bangga dengan agamanya. Allah telah perlihatkan mukjizat Alquran yang menakjubkan dalam penggalian modern situs purbakala.
Bagaimana tulang berubah menjadi batu atau besi?
Struktur yang berubah menjadi batu akan terjadi jika organisme tersebut dimakamkan di elemen daerah yang kaya silica. Tulang organik yang berada di daerah dengan kandungan silica akan berubah menjadi tulang batu dalam beberapa tahun lamanya.
Adapun struktur yang berubah menjadi besi akan terjadi jika organisme tersebut dimakamkan di elemen daerah yang kaya iron pyrite, sejenis besi (FeS2). Tulang organik yang berada di elemen daerah kaya iron pyrite akan berubah total menjadi besi.

وَقَالُواْ أَئِذَا كُنَّا عِظَاماً وَرُفَاتاً أَإِنَّا لَمَبْعُوثُونَ خَلْقاً جَدِيداً. قُل كُونُواْ حِجَارَةً أَوْ حَدِيداً. أَوْ خَلْقاً مِّمَّا يَكْبُرُ فِي صُدُورِكُمْ فَسَيَقُولُونَ مَن يُعِيدُنَا قُلِ الَّذِي فَطَرَكُمْ أَوَّلَ مَرَّةٍ
Dan mereka berkata, “Apakah bila kami telah menjadi tulang belulang dan benda-benda yang hancur, apa benar-benarkah kami akan dibangkitkan kembali sebagai makhluk yang baru?” Katakanlah: “Jadilah kamu sekalian batu atau besi, atau suatu makhluk dari makhluk yang tidak mungkin (hidup) menurut pikiranmu”. Maka 
mereka akan bertanya, “Siapa yang akan menghidupkan kami kembali?” Katakanlah, “Yang telah menciptakan kamu pada kali yang pertama”. (Al-Isra: 49-51)
Firman Allah وَقَالُواْ أَئِذَا كُنَّا عِظَاماً وَرُفَاتاً (Dan mereka berkata, “Apakah bila kami telah menjadi tulang belulang dan benda-benda yang hancur)
Ayat-ayat di atas berbicara tentang pengingkaran orang-orang kafir terhadap fakta kebenaran yang diungkapkan Allah dalam Al-Quran bahwa kebangkitan setelah kematian setelah mereka beralih ke tulang dan debu. Jawaban datang Allah yang memberitahu mereka bahwa jika mereka pun telah menjadi batu atau besi, maka Allah mampu untuk membangkitkan kembali.
Dalam ayat-ayat Al-Quran di atas Allah menjelaskan bahwa tulang-belulang orang mati berubah menjadi batu atau besi dan fakta ini telah dibuktikan secara ilmiah. Tidak hanya itu, tetapi fakta ini telah menjadi dasar ilmiah untuk studi lebih kompleks yang dikenal sebagai ilmu paleontologi (Paleontology).
Dengan demikian, Al-Quran telah lebih dahulu menjelaskan fakta ilmu pengetahuan modern ketika manusia menemukan fosil tulang-belulang yang berbentuk batu atau besi di situs purbakala.
Siapa lagi yang masih mengingkari kebenaran kenabian Muhammad dan kebenaran Islam?
Sumber: page FB www.islamway.net 

Selasa, 25 Juni 2013

Seputar Qaswa Unta Betina Rasulullah dan Masjid Nabawi


Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassallam memberi nama unta-nya dengan nama QASWA, which means ‘to cover long distance’… Sesuai dengan namanya ini, Rasullullah Shalallahu ‘alaihi wassallam hanya menunggangi Qaswa, jika Beliau melakukan perjalanan yang jauh. Pada saat berhijrah dari Mekkah ke Madinah-pun Rasulullah mengendarai Qaswa. Pada waktu itu, Kaum Bangsawan Anshar berlomba-lomba menawarkan tempat tinggal kepada Beliau, namun dengan bijaksana Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassallam berkata bahwa dimanapun unta betinanya (Qaswa) memutuskan untuk berhenti, maka disitulah Beliau akan membangun tempat tinggal. Lokasi tersebut, semula adalah tempat penjemuran buah kurma milik anak yatim dua bersaudara Sahl dan Suhail bin ‘Amr, yang kemudian dibeli oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassallam untuk dibangunkan tempat kediaman Beliau dan sebuah masjid yang sekarang kita kenal dengan nama Masjid Nabawi (masjid ke-2 yang dibangun oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassallam, setelah sebelumnya masjid Quba).

Masjid Nabawi dibangun pada Tahun 1 Hijriyah (September, 662 M). Batu pertama dalam pembuatan masjid, diletakkan sendiri oleh Rasulullah Shalallahu’alaihi wasallam, dan selanjutnya batu ke-2, 3, 4, dan 5 oleh para Sahabat (Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali).

Pada awal pembangunannya, masjid Nabawi hanya berukuran sekitar 50 m × 50 m, dengan tinggi atap sekitar 3,5 m. Tembok di keempat sisi masjid ini terbuat dari batu bata dan tanah. Atapnya dari daun kurma dan tiang-tiang penopangnya dari batang kurma. Sebagian atapnya dibiarkan terbuka begitu saja. Selama sembilan tahun pertama, masjid ini tanpa penerangan di malam hari. Hanya di waktu Isya, diadakan sedikit penerangan dengan membakar jerami/ pelepah kurma.

Kediaman Rasul sendiri, dibangun melekat pada salah satu sisi masjid, namun kediaman Beliau tidaklah lebih mewah dari keadaan masjidnya, hanya saja lebih tertutup. Ada pula bagian masjid yang digunakan oleh para fakir-miskin yang sekarang dikenal sebagai ahlussufah atau para penghuni 
teras masjid.
Masjid Nabawi mengalami berbagai perbaikan, perbaikan pertama dilaksanakan pada Tahun ke-4 Hijriyah, dimana lantainya dibangun dengan batu bata.

Pada tahun 1265 H (pemerintahan Sultan Abdul Majid), masjid Nabawi dibangun hingga memakan waktu 12 Tahun. Dinding dan tiang-tiang masjid dipercantik dengan ukiran dan kaligrafi indah yang masih bisa disaksikan sampai sekarang.

Raja Fahd bin Abdul aziz juga turut andil dalam perluasan Masjid Nabawi. Alhasil, luas seluruh bangunan masjid sekarang ini menjadi 165.000 m2. Jumlah menarapun bertambah, dari semula empat buah menjadi 10 buah. Empat diantaranya mamiliki ketinggian 72 meter dan enam lainnya setinggi 92 meter. Jumlah pintu juga bertambah sehingga menjadi 95 buah, serta 27 kubah.

Kini masjid yang telah mengalami berkali-kali renovasi itu tampak begitu megah dan indah. Luasnya pun sangat menakjubkan, sekitar 298.000 m2. Masjid itu berdiri tegak menghadap selatan, arah kiblat. Dengan area yang begitu luas, lantai dasar Masjid Nabawi mampu menampung 257.000 jama’ah. Sedang lantai atas, yang luasnya 67.000 m2, dapat menampung 90.000 jama’ah. Jika disatukan dengan halamannya, Masjid Nabawi normalnya dapat menampung 650.000 jama’ah. Tapi pada musim haji dan bulan Ramadhan, lebih dari satu juta jama’ah.

Keutamaannya dinyatakan oleh Nabi Shalallahu ‘alaihi wassallam., sebagaimana diterima dari Jabir rhadiyallahu ‘anhu. (yang artinya):
“Satu kali shalat di masjidku ini, lebih besar pahalanya dari seribu kali shalat di masjid yang lain, kecuali di Masjidil Haram. Dan satu kali shalat di Masjidil Haram lebih utama dari seratus ribu kali shalat di masjid lainnya.”
(Riwayat Ahmad, dengan sanad yang sah)

Diterima dari Anas bin Malik bahwa Nabi Shalallahu ‘alaihi wassallam bersabda (yang artinya):
“Barangsiapa melakukan shalat di mesjidku sebanyak empat puluh kali tanpa luput satu kali shalat pun juga, maka akan dicatat kebebasannya dari neraka, kebebasan dari siksa dan terhindarlah ia dari kemunafikan.”(Riwayat Ahmad dan Thabrani dengan sanad yang sah)

Dari Sa’id bin Musaiyab, yang diterimanya dari Abu Hurairah, bahwa Nabi Shalallahu ‘alaihi wassallam bersabda (yang artinya):
“Tidak perlu disiapkan kendaraan, kecuali buat mengunjungi tiga buah masjid: Masjidil Haram, masjidku ini, dan Masjidil Aqsa.” (Riwayat Bukhari, Muslim dan Abu Dawud) 

Wudhu saja kalian tidak punya, apalagi duit


Seorang kiai melakukan perjalanan bersama santri-santrinya. Di tengah perjalanan, ternyata masuk waktu (Zhuhur). Kemudian sang kiai, yang selalu mempunyai wudhu, bertanya  kepada para santrinya, “Apa kalian punya wudhu?”

“Tidak, Pak Kiai,” jawab santri-santrinya.

“Wudhu saja kalian tidak punya, apalagi duit …,” seloroh sang kiai.
Canda yang dilontarkan sang kiai tentu bukan tanpa pesan, melainkan menyisipkan nasihat yang menawan. Tidak hanya mempraktikkan gaya nasihat yang cair dan alami, tapi mencoba menggebah motivasi dan menggugah logika santri-santrinya; santri jangan susah, maka raih peluang-peluang yang ada di depan mata. Betapa banyak peluang dan hal-hal yang ringan dan gratis yang tersaji di hadapan mereka.

Sang kiai mengingatkan, kalau hal-hal yang ringan dan gratis saja para santri tidak punya, seperti wudhu, bagaimana dengan hal lainnya yang harus dicari sedemikian rupa, misalnya duit atau kekayaan?

Pesan utama yang dipraktikkan sang kiai kepada para santrinya adalah bagaimana ia terus melazimkan wudhu. Sebab, banyak keutamaan dalam wudhu. Seorang Bilal bin Rabah bisa menjadi penghuni surga karena wudhu, bahkan kabar tersebut sudah ia terima sejak masih menjejakkan kakinya di muka bumi ini alias masih hidup.

Abu Hurairah RA meriwayatkan bahwa Rasulullah bertanya kepada Bilal ketika shalat Fajar, “Wahai Bilal, ceritakan kepadaku tentang amalan yang paling engkau amalkan dalam Islam, karena aku sungguh telah mendengar gemerincing sandalmu di tengah-tengahku dalam surga.”

Bilal berkata, “Aku tidaklah mengamalkan amalan 
yang paling kuharapkan di sisiku, hanya aku tidaklah bersuci di waktu malam atau siang, kecuali aku shalat bersama wudhu itu sebagaimana yang telah ditetapkan bagiku.” (HR Bukhari).

Secara medis, sudah diakui bahwa wudhu bisa menghilangkan mikroba yang bersarang dalam hidung, yang jika mikroba ini cepat menyebar dan berkembang-biak, akan menyebabkan munculnya berbagai penyakit. Lebih-lebih kalau sampai ke tenggorokan, lalu masuk menerobos ke peredaran darah. Maka, berbahagialah orang yang melazimkan diri berwudhu secara terus-menerus. Karena dengan istinsyaq (menghirup air ke dalam hidung), lalu mengeluarkannya lagi, hidung bersih dari debu, kuman, dan bakteri.

Bahkan, Prof Leopold Werner von Ehrenfels, seorang psikiater sekaligus neurolog berkebangsaan Austria, memeluk Islam lantaran berhasil menguak keajaiban yang ada dalam wudhu karena mampu merangsang pusat syaraf dalam tubuh manusia. Adanya keselarasan air dengan wudhu dan titik-titik syaraf menjadikan kondisi tubuh selalu sehat.

Manfaat secara ilmiah dan medis ini hanya sebagian kecil dari berkah wudhu. Masih begitu banyak hikmah lainnya dari amal yang ringan ini. Wudhu bisa menghapus dosa-dosa kecil dan mengangkat derajat seseorang (HR Muslim).

Wudhu adalah tanda dari pengikut Nabi SAW (HR Muslim). Wudhu bisa mengurai ikatan atau jeratan setan (HR Bukhari-Muslim). Wudhu adalah separuh dari iman (HR Muslim). Dengan wudhu, seorang Muslim juga bisa meraih kecintaan dari Allah: “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang tobat dan orang-orang yang bersuci.” (al-Baqarah: 222). – republika 

Senin, 24 Juni 2013

Para Nabi Pun Diperintahkan Mengucapkan Insya Allah


Para nabi dan rasul adalah wali-wali Allah Subhanahu wa Ta’ala di muka bumi ini. Mereka adalah orang-orang yang Allah cintai, mereka mengemban risalah langit untuk mendakwahi manusia agar menyembah Allah semata dan tidak menyekutukannya dengan sesuatu apapun. Walaupun Allah mencintai mereka, tidak mesti Allah Subhanahu wa Ta’ala merealisasikan apa yang mereka harapkan. Mereka masih dianjurkan untuk mengucapkan insya Allah (atas kehendak Allah) ketika mencita-citakan sesuatu.

Allah Subhanahu wa Ta’ala pernah menegur Nabi-Nya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam lantaran ada seorang yang bertanya kepada beliau tentang suatu perkara, lalu beliau besok saya jawab –dengan keyakinan wahyu dari Allah akan turun-. Ternyata wahyu mengenai jawaban terkait tidak kunjung turun dan ketika wahyu datang malah berupa teguran kepada beliau agar mengucapkan insya Allah. Demikian juga kejadian yang dialami Nabi Sulaiman ‘alaihissalam.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sulaiman bin Daud ‘alaihissalam pernah berkata, ‘Sungguh, saya akan menggilir seratus istri saya pada malam ini. Semuanya akan melahirkan anak yang ahli berkuda yang akan berjuang di jalan Allah.’ Lalu temannya berkata 
kepadanya, ‘Katakanlah ‘Insya Allah’,’ tetapi Nabi Sulaiman tidak mengatakan ‘insya Allah’. Ternyata dari semua istrinya tersebut yang hamil hanya seorang istrinya, itupun hanya melahirkan separuh anak. Demi Dzat yang menguasai jiwaku, seandainya Nabi Sulaiman mengucapkan ‘Insya Allah’, pastilah mereka semua akan berjuang di jalan Allah sebagai pasukan berkuda.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Dalam riwayat lain yang terdapat di dalam kitab ash-Shahihain juga bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Nabi Sulaiman ‘alaihissalam berkata, ‘Sungguh, saya akan menggilir tujuh puluh istri saya pada malam ini. Masing-masin akan melahirkan seorang pasukan berkuda yang berjuang di jalan Allah.’ Akan tetapi beliau tidak mengucapkan ‘Insya Allah’. Lantas beliau pun menggilir mereka. Ternyata yang hamil hanyalah seorang istri yang melahirkan separuh anak, lantas anak tersebut dibawa ke atas kursi Nabi Sulaiman ‘alaihissalam, lalu diletakkan di pangkuannya. Demi Dzat yang menguasai jiwaku, seandainya Nabi Sulaiman ‘alaihissalam mengucapkan ‘Insya Allah’, pastilah mereka semua akan berjuang di jalan Allah sebagai pasukan berkuda.” Hal ini sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

“Dan sungguh, Kami telah menguji Sulaiman.” (QS. Shad: 34)

Para nabi dan rasul yang merupakan wali-wali Allah pun masih diajarkan beradab kepada Allah untuk mengatakan insya Allah ketika mencita-citakan sesuatu, apalagi kita yang manusia biasa.

Sumber: 
Hiburan Orang-orang Shalih, 101 Kisah Segar, Nyata dan Penuh Hikmah, Pustaka Arafah Cetakan 1 

Minggu, 23 Juni 2013

Dalam Islam, Usia Berapakah Boleh Menikah?


Menikah di usia muda saat ini dianggap aneh. Bahkan, kadang menjadi sorotan. Padahal, menikah di usia muda atau pernikahan dini memiliki banyak maslahat bagi pemuda. Terlebih, pada era informasi dan globalisasi sekarang ini yang godaan menjaga kehormatan dan kesucian jauh lebih sulit daripada era-era sebelumnya.

Menikah di usia muda, seperti sabda Nabi, membuat pemuda lebih mudah menundukkan pandangan dan menjaga kehormatan. Beliau bersabda:

يَامَعْشَرَ الشَّبَابِ: مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ، فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ

“Wahai pemuda, barangsiapa di antara kalian telah mampu maka hendaknya menikah, karena ia lebih menundukkan pandangan dan lebih memelihara kemaluan. Dan barangsiapa yang belum mampu, maka hendaknya ia berpuasa, sebab ia dapat mengekangnya.” (HR. Bukhari)

Dalam hadits di atas, Rasulullah menggunakan istilah syabab yang dalam bahasa Indonesia biasa diterjemahkan menjadi pemuda. Siapakah yang dimaksud syabab dalam hadits tersebut? Fauzil Adhim dalam buku Indahnya Pernikahan Dini menjelaskan, syabab adalah sesesorang yang telah mencapai masa aqil-baligh dan usianya belum mencapai tiga puluh tahun.

Masa aqil baligh ini umumnya telah dialami pada rentang usia sekitar 14-17 tahun. Salah satu tanda yang menjadi patokan aqil baligh adalah datangnya ihtilam (mimpi basah). Akan tetapi, pada masa sekarang, datangnya ihtilam sering tidak sejalan dengan telah cukup matangnya pikiran. Sehingga generasi yang lahir pada zaman ini banyak yang telah memiliki kematangan seksual tetapi belum memiliki kedewasaan berpikir.

Jika seorang laki-laki telah mencapai aqil-baligh dan memiliki ba’ah, mampu menunaikan kewajiban baik batin maupun lahir (materi), ia dianjurkan oleh Rasulullah untuk segera menikah. Jadi secara fisik ia telah mengalami kematangan seksual, dari segi akal ia telah mencapai kematangan berpikir (ditandai dengan sifat rasyid dasar yang mampu mengambil 
pertimbangan sehat dalam memutuskan sesuatu dan bertanggungjawab), dan dari segi maliyah ia bisa mencari nafkah, ia disunnahkan untuk segera menikah meskipun usianya masih 20-an tahun.

Bagaimana dengan pemudi (wanita)? Untuk para gadis, syaratnya bahkan lebih mudah. Sebab, ia tidak seperti laki-laki yang dibebani kewajiban mencari nafkah. Sehingga, asalkan ia sudah aqil baligh (ditandai dengan menstruasi) dan memiliki kematangan berpikir, ia boleh dan dianjurkan untuk menikah. Tentu saja –bagi keduanya, pemuda maupun pemudi- bekal agama yang sekaligus membuatnya dewasa dalam mengarungi bahtera rumah tangga perlu untuk dimiliki.

Karena itulah kita mendapati di dalam sirah nabawiyah dan sirah shahabiyah, para shahabat dan para shahabiyah telah menikah di usia mereka yang masih sangat muda. Fatimah Az Zahra menikah pada usia 19 tahun, sedangkan Ali bin Abu Thalib saat itu berusia 25 tahun. Rasulullah sendiri juga menikah di usia 25 tahun.

Jika Ali dan Fatimah menikah pada saat keduanya di usia muda, pernikahan dalam Islam tidak selalu seperti itu. Rasulullah yang menikah pada usia 25 tahun, saat itu istri beliau Khadijah telah berusia 40 tahun.

Yang terkenal menikah di usia paling muda adalah ummul mukminin Aisyah. Menurut sebagian riwayat, beliau dinikahi Nabi pada usia 7 tahun kemudian mulai berumah tangga pada usia 9 tahun. Tetapi ada data berbeda yang menyebutkan bahwa beliau dinikahi oleh Rasulullah pada usia 14 tahun. Wallahu a’lam bish shawab.

Seperti Rasulullah dan Aisyah yang usianya terpaut jauh, Utsman bin Affan juga pernah menikah dengan gadis belia. Saat rambut Utsman telah memutih, beliau menikah dengan Nailah yang masih berusia 18 tahun. Namun begitulah, Islam menghadirkan kebahagiaan dalam rumah tangga tanpa peduli usia. Menikah dengan sesama usia muda mengandung banyak berkah. Namun, menikah saat muda dengan pasangan yang jauh lebih dewasa juga terbukti tidak bermasalah. Dari niat, segalanya dimulai. Dan dari niat, Allah menilai. [bersamadakwah]